Powered By Blogger

Rabu, 21 Agustus 2013

Jakarta - Sabah, salah satu wilayah Malaysia yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Utara, provinsi terbaru Indonesia, selama ini dikenal kawasan yang tenang. Tapi pekan lalu wilayah Timur negeri jiran itu, dikejutkan oleh penyusupan sekitar 400 orang bersenjata asal Filipina.

Kehadiran warga Filipina yang tak undang itu serta merta menimbulkan kepanikan di masyarakat Malaysia. Sebab warga asing itu langsung mendatangi Lahad Datu, salah satu desa di Sabah, sehingga memancing perlawanan.
Hingga ulasan ini dibuat, warga Filipina bersenjata yang merangsek ke Malaysia itu, masih di sana. Membuat daerah Sabah menjadi salah satu kawasan yang suhu politiknya memanas dan sewaktu-waktu bisa berubah menjadi sebuah perang.
Kabar terakhir menyebutkan, pemerintah Malaysia sudah hilang kesabaran, tetapi pada saat yang sama Sultan Sulu di Filipina bagian Selatan yang mengirim 400 penyusup ke Sabah, mengancam masih akan menambah sekitar 10 ribu pasukan tambahan. Sehingga kekhawatiran akan terjadinya eskalasi menuju perang terbuka antara Malaysia dan Filipina dua negara anggota ASEAN itu tak terhindarkan.
Ikut terimbas dengan invasi itu, sejumlah warga Indonesia yang bekerja di Sabah. Tapi yang tidak bisa diprediksi, bagaimana imbasnya terhadap kehidupan masyarakat di Kalimantan Utara sebagai provinsi ke-34 NKRI.
Belakangan baru terungkap, pasukan asing yang masuk ke Malaysia itu merupakan bagian dari anggota MNLF (Moro National Liberation Front-Front Pembebasan Nasional Bangsa Moro).
MNLF sekalipun tidak mempunyai organisasi militer yang rapih seperti tentara pemerintah, tetapi dikenal memiliki militansi tinggi. Kelompok ini berdiri 40 tahun lalu atas inisiatif Nur Misuari. Nur, merupakan mantan aktifis yang kemudian menjadi dosen politik di Universitas Filipina, Manila, tapi pada akhirnya bermusuhan dengan pemerintah.
Pemahamannya tentang politik, membuatnya melek atas persoalan yang dihadapi oleh kampung halamannya di Selatan Filipina. Ia kembali ke Selatan dan melakukan perlawanan terhadap Manila. Dalam perlawanannya yang dimulai di awal 1970-an, Nur dan MNLF-nya, mengalami pasang surut. Ia dan MNLF pernah menjadi musuh tapi juga sempat menjadi sahabat pemerintah.
Di era Presiden Marcos, Nur Misuari sangat dimusuhi sehingga ia melakukan pengasingan ke Arab Saudi. Sementara anggota MNLF bersembunyi di hutan-hutan. Dari Arab Saudi, Nur Misuari membangun hubungan dengan Libya, negara Islam di Afrika Utara. Rezim Moamer Khadafy yang memerintah Libya kemudian dilaporkan banyak memasok senjata bagi MNLF.
Misuari baru kembali ke Filipina setelah di 1986, Marcos tumbang dari kekuasaan. Di era Presiden Fidel Ramos, pada 1990-an, Nur Misuari dengan MNLF-nya menanda tangani kesepakatan yang dikenal dengan Perjanjian Tripoli. Kesepakatan itu untuk mengakhiri permusuhan di antara sesama bangsa Filipina.
Setelah perjanjian itu, Filipina Selatan mendapatkan status otonomi dan Nur Misuari terpilih sebagai Gubernurnya. Setelah beberapa tahun di kekuasaan, pada 2001, Nur kemudian digeser oleh Presiden Gloria Macapagal.
Pada 2007, Nur Misuari bahkan ditahan dengan tuduhan melakukan kegiatan terorisme. Setahun kemudian statusnya sebagai Pemimpin MNLF digantikan oleh Muslimin Sema. Dicurigai, kelompok inilah yang menyusup ke Sabah.
Masuknya tentara MNLF ke Malaysia kali ini, tentu saja menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apa yang mendorong MNLF melakukan invasi ke Sabah? Mengapa MNLF yang tadinya menempatkan Manila sebagai musuh, justru tidak memerangi Manila? Mengapa pula MNLF mengincer Sabah, Malaysia, negara yang memiliki kesamaan dalam ideologi dengannya ?
Mengapa yang diserang negara tetangga, Malaysia yang letaknya jauh di seberang laut bagian selatan Filipina? Dilihat dari peta, jarak perjalanan dari Filipina Selatan ke Sabah jauh lebih menantang dibanding ke Manila di bagian Utara.
Tetapi anehnya, pemerintah Malaysia sendiri sekalipun wilayahnya diinvasi tidak berani atau tidak mau langsung mengusir para tentara MNLF itu dari Sabah. Apa yang menjadi kendalanya ?
Kualalumpur memang mengirim pasukan bersenjata dan meningkatkan personel kepolisian ke wilayah itu. Namun respon pemerintah Kualalumpur, terkesan lambat serta tidak membuat tentara MNLF merasa takut dan terancam.
Keanehan lainnya, Malaysia khawatir apabila invasi MNLF ke Sabah dijadikan alasan oleh kekuatan asing untuk campur tangan. Malaysia lebih suka melokalisir masalah invasi tentara Moro itu terutama setelah ada suara dari Pakistan agar invasi itu diinternasionalisasikan.
Rupanya penyusupan tentara MNLF itu memiliki alasan tersendiri. Invasi itu merupakan refleksi dari ketidak puasan Jamalul Kiram, Sultan Sulu saat ini yang bertahta di Filipina Selatan. Ketidak puasan Sultan Sulu terkait dengan sejarah eksistensi Kesultanan Sulu ratusan tahun lalu bercampur dengan perkembangan terbaru.
Perkembangan itu terkait dengan peran Malaysia sebagai negosiator antara pemerintah Filipina dengan MILF (Moro Islamic Liberation Front - Front Pembebasan Islam Moro), Oktober tahun lalu. Dalam negosiasi itu, kepentingan MILF lebih diakomodasi sedangkan MNLF tidak. Padahal MILF hanya "sempalan" dari MNLF.
Kesultanan Sulu merupakan lembaga adat yang sangat dihormati oleh masyarakat muslim setempat. Dan MNLF merupakan kekuatan militer tidak resmi dari Kesultanan Sulu. MNLF merasa dilangkahi.
Inilah yang menyebabkan Sultan Sulu marah dan memerintahkan MNLF menyusup ke Sabah, Malaysia. Bagi Sultan Sulu, Sabah, juga merupakan bagian dari Kesultanannya. Hanya saja kesultanan tidak memiliki kekuatan politik maupun militer.
Kesultanan Sulu sudah lama meminta pemerintah pusat Filipina, untuk mengklaim kepemilikan Sabah. Klaim sudah diajukan lebih dari setengah abad. Tapi klaim itu menjadi mentah karena Malaysia lebih pintar memainkan perang diplomasi. Selain meminta bantuan Inggris, pemimpin Negara Persemakmuran yang pernah menjajah Sabah, Malaysia menggunakan lobi ASEAN.
Dalam ASEAN dimana bergabung antara lain Filipina, Malaysia dan Indonesia, isu kepemilikan Sabah meredup. Peredaman atas isu Sabah dimaksudkan untuk mempromosikan solidaritas dan semangat perdamaian ASEAN.
Kemarahan Sultan Sulu, Jamalul Kiram terhadap Malaysia tahun ini, ada kemiripan dengan kemarahan Nur Misuari terhadap pemerintah Malaysia lebih dari 40 tahun lalu. Sultan Sulu menilai Malaysia hanya berpura-pura membantu komunitas Islam di Filipina Selatan. Tujuan akhirnya hanya satu, mempertahankan Sabah sebagai bagian dari teritorinya.
Nur Misuari marah kepada Manila, karena pemerintahnya lebih memihak Malaysia, dalam rangka solidaritas ASEAN. Namun pemihakan itu merugikan komunitas Islam di Filipina Selatan.
Bagi Indonesia persoalan yang paling mendasar adalah jika konflik atau krisis Sabah berlanjut, hal itu akan berimbas pada stabilitas provinsi ke-34, Kalimangtan Utara. Sekalipun kepentingan dalam konteks ASEAN tetap ada, tetapi kebutuhan menjaga keamanan provinsi terbaru, jauh lebih mendesak.
Provinsi terbaru ini menurut rencana akan diresmikan pada Oktober tahun ini, setelah Oktober tahun lalu pengesahan atas pembentukan provinsi Kalimantan Utara dilakukan oleh DPR-RI. Pembentukan provinsi baru itu diharapkan akan memberikan kesempatan lebih berkembang bagi masyarakat dan wilayahnya.
Pertanyaannya apakah mungkin pengembangan provinsi baru itu bisa tercapai apabila belum apa-apa di perbatasannya terdapat eskalasi peperangan? Apakah enerji dan pemikiran pemerintah Jakarta tak akan tersedot ke persoalan Sabah, sehingga lupa atau tidak bisa membangun Kalimantan Utara?
Dan yang tidak kalah sensitifnya, hingga saat ini Filipina Selatan masih merupakan tempat aman bersembunyi para teroris. Siapa yang bisa menjamin teroris dari Filipina Selatan tidak bisa menyusup ke dan melalui Sabah ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar